Dampak Negatif Karhutla dan Pandemi, Tak Hanya Bahayakan Pernapasan Tetapi Juga Kesehatan Kulit | Bintang Mahayana

Wednesday, June 09, 2021

Holla!

Apa kabar teman-teman semuanya? Meskipun masalah lingkungan dan pandemi ini tak kunjung menemui titik akhir, semoga kita tetap diberikan kesehatan lahir dan batin. Serta diberikan juga kekuatan untuk tetap dapat melewati hari-hari dengan penuh rasa syukur. Di postingan kali ini, gue mau cerita tentang pengalaman pribadi berkenaan dengan masalah kebakaran hutan dan pandemi yang sedikit banyak juga berpengaruh terhadap kesehatan kulit. Mungkin, ada dari teman-teman pembaca yang juga pernah mengalami hal serupa. Semoga dengan ditulisnya artikel ini, bisa memberikan beberapa informasi dan tips yang bermanfaat bagi teman-teman semuanya yaa.


Sumber gambar: Dok. Pribadi




Kilas Balik Tragedi "Kabut Asap" di Sumatera Selatan

Masih teringat jelas dalam benak saat kilas balik tragedi kabut asap akibat kebakaran hutan di wilayah Sumatera Selatan pada kurun waktu 2014. Kondisi terparah terdapat di wilayah titik api di OKI (Ogan Komering Ilir). Namun, sebagai orang yang memiliki keluarga di Kota Palembang, wilayah ibu kota pun juga terdampak cukup signifikan. Waktu itu gue masih kuliah di luar kota. Sampai tidak bisa pulang ke rumah saat liburan karena Bandar Udara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II ditutup karena alasan keselamatan. Di ibu kota sendiri, jarak pandang kendaraan tidak lebih dari 2 meter saking tebalnya kabut asap. Terutama di pagi hari yang bercampur pula dengan embun dan asap kendaraan bermotor yang mengeluarkan gas karbon monoksida (CO). 




Penampakkan area sekitar Jembatan Ampera Kota Palembang dalam peristiwa Kabut Asap
Sumber foto: sumatra.bisnis.com



Bisa dibayangkan, sesaknya hingga penggunaan masker pun menjadi lazim. Kantor dan sekolah diliburkan oleh pemerintah setempat dengan alasan kesehatan. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya warga Sumsel sudah duluan menghadapi "pandemi", bukan? WFO, WFH, dan wajib menggunakan masker bukanlah hal yang baru. Namun, tragedi ini bukannya menjadi pelajaran, justru terulang di tahun 2019. Saat kembali ke Palembang, terkadang saat sore hari ada helikopter yang mengudara untuk memberi hujan buatan. Itu pun terkadang bisa 2-3 kali dalam sehari dan nyaris dilakukan setiap hari. 


Bahkan, dalam acara Online Blogger Gathering yang disampaikan oleh Mas Dedy Sukmara selaku Direktur Informasi dan Data Auriga Nusantara, terdapat istilah Provinsi-Provinsi Api yang faktanya sepanjang tahun secara bergantian menyumbang tragedi karhutla dalam periode waktu tertentu. Dengan urutan peringkat 5 tertinggi sebagai provinsi dengan luas karhutla terbesar sebagai berikut:


1. Sumatera Selatan : tertinggi pada 2015, seluas 646.299ha
2. Kalimantan Tengah : tertinggi pada 2015, seluas 583. 833ha
3. (Pulau) Papua : tertinggi pada 2015, seluas 350.005ha
4. Kalimantan Selatan : tertinggi pada 2015, seluas 196. 512ha
5. Nusa Tenggara Timur : tertinggi pada 2020, seluas 114.719ha


Sumber gambar: Dok. Pribadi


Menurut kajian Forest Watch Indonesia (FWI) pada rentang waktu 2009-2013, Indonesia kehilangan hutan seluas 1,13 juta hektar setiap menitnya. Jika diilustrasikan, maka Indonesia kehilangan hutan sekitar 3 kali luas lapangan sepak bola setiap menitnya. Meskipun data menunjukkan pada rentang waktu 2013-2014 terjadi penurunan laju deforestasi hutan alam Indonesia ke angka 0,4 juta hektar per tahun, kondisi ini masih fluktuatif. Indonesia berada di peringkat ke-2 dunia sebagai negara dengan tingkat deforestasi tertinggi setelah Brazil (Ritchie: 2015). 







Sumber gambar: Dok. Pribadi
 




Korelasi Masalah Lingkungan dan Timbulnya 'Zoonosis' yang Memicu Pandemi

Belum cukup sampai di situ, alam seolah murka dengan umat manusia yang kerap kali menimbulkan kerusakan di muka bumi. Kaum satwa pun juga kini membuat seluruh umat manusia di berbagai belahan dunia seolah tak berdaya dengan adanya Pandemi Covid-2019 atau lebih sering disebut Covid-19. Mengapa dinamakan Covid-2019? Alasannya, di Cina memang sudah terindikasi sejak tahun 2019. Hanya saja karena di Indonesia baru tercatat kasus pertama sejak Maret 2020, maka pada tahun 2019 belum semasif sekarang informasinya di Indonesia. 


Menurut para ahli sebagaimana yang dipaparkan oleh dr. Alvi Muldani dari Yayasan Alam Sehat Lestari dalam acara Online Blogger Gathering yang sama seperti disebutkan sebelumnya, Pandemi Covid-19 dikategorikan sebagai Zoonosis - suatu penyakit menular (communicative disease) yang ditularkan dari hewan ke manusia. Awal mula Coronavirus diperkirakan berasal dari kelelawar yang di dalam badannya memang sudah mengandung banyak patogen yang menjadi sumber penularan Covid-19 tersebut. Namun, saking banyaknya di tubuh kelelawar, hewan itu justru "baik-baik saja". Namun, menjadi letal ketika sudah berpindah ke tubuh manusia. Lebih mengerikannya lagi, setelah mendapat inang yang baru, virus tersebut dapat terus membentuk mutasi baru dan memiliki tingkat penyebaran yang kita semua tahu, sangat cepat. 







Kualitas Udara Buruk akibat Karhutla dan Dampaknya terhadap Kesehatan Kulit

Pernahkah dalam suatu waktu kulit kalian terlihat kusam dan selalu saja timbul masalah? Baik itu masalah jerawat maupun bekasnya yang meninggalkan noda hitam alias hiperpigmentasi. Padahal, kalian merasa sudah berusaha menjaga kesehatan kulit semaksimal mungkin dan tetap menggunakan basic skincare. Terutama mengaplikasikan produk sunscreen secara berkala. Setidaknya menggunakan SPF 50 dan diaplikasikan ulang setiap 2 jam sekali, seperti pendapat drg. Danang Wisnuwardhana. Tidak bisa dipungkiri bahwa ternyata, salah satu penyebab utama yang menyebabkan penurunan kesehatan kulit kita adalah kondisi udara sekitar yang buruk. 


Produk skincare pada dasarnya hanyalah penunjang topikal yang dapat membantu kulit kita untuk beradaptasi dengan meregenerasi sel kulit mati lebih cepat. Mungkin, teman-teman juga pernah punya pengalaman dengan maskne atau jerawat di area sekitar penggunaan masker. Penggunaan bahan masker yang tidak sesuai atau kondisi wajah yang terlalu lembab sehingga menjadi sarang bakteri penyebab jerawat berkembang biak, akan sangat mungkin menyebabkan timbulnya jerawat di area penggunaan masker, seperti dagu, pipi bawah, dan area rahang.


Saat ini kita harus menghadapi setidaknya 2 tragedi besar dalam sejarah hidup manusia, krisis iklim akibat kerusakan lingkungan hidup dan pandemi Covid-19. Kalau dianalogikan, kita ini seolah "Mockingjay" dalam film "The Hunger Games". Hanya yang terkuat yang akan mampu bertahan melewati kerasnya Seleksi Alam. Mereka yang lemah dan tak mampu beradaptasi akan tersingkir dengan sendirinya. Namun, tujuan dari tulisan ini bukanlah untuk menebar ketakutan atau fear mongering belaka. Tetapi, tulus dengan jujur memberitakan kebenaran yang tidak sepatutnya kita tampik. Justru inilah saatnya kita saling bantu dan peka terhadap sesama manusia. Bersama-sama melawan potensi punahnya spesies kita dari muka bumi dengan perannya masing-masing, tak peduli sekecil apapun, guna menyebarkan informasi bermanfaat dan mengatasi masalah lingkungan hidup dan pandemi. 




Kita Harus Bagaimana?

Setiap manusia di muka bumi, baik hidup maupun mati, tetap menyumbang jejak karbon dan setiap harinya kita menyumbang emisi gas rumah kaca ke atmosfer yang menyebabkan semakin menipisnya lapisan ozon. Maka, tak heran jika masalah kulit termasuk juga tanda-tanda penuaan dini, sudah semakin mainstream di masa kini. 


Sehingga, mau tak mau umat manusia pun mengembangkan ilmu pengetahuannya dari waktu ke waktu. Salah satunya yang melahirkan beauty trend yang pada akhirnya me-mainstream kan industri kecantikan ke seluruh kalangan usia maupun gender tentang pentingnya menjaga kesehatan kulit. Terutama dari dampak buruk akibat sinar UV. Untuk itu, baiknya kita senantiasa menjaga protokol kesehatan, menjaga kebersihan dengan melakukan perawatan diri semaksimal mungkin, serta melakukan pengelolaan sampah dengan benar guna menjaga kelestarian lingkungan, dan jangan lupa pilih produk-produk lestari yang mendukung sustainable beauty untuk masa depan bumi yang lebih baik.









REFERENSI

Publikasi FWI. 2020. Menelisik Angka Deforestasi Pemerintah. Dalam https://fwi.or.id/menelisik-angka-deforestasi-pemerintah/

 

Ritchie, Hannah. 2015. Deforestation and Forest Loss. Dalam https://ourworldindata.org/deforestation




Bintang Mahayana ©️ 2021

Artikel ini ditulis dalam rangka memperingati "Hari Lingkungan Hidup Sedunia" yang jatuh pada tanggal 5 Juni setiap tahunnya. Juga ditayangkan sebagai hasil olah pemikiran setelah mengikuti diskusi dalam acara "Online Blogger Gathering: Cegah Karhutla, Cegah Pandemi" yang dilaksanakan pada Jumat, 4 Juni 2021 sebagai bentuk kerja sama antara komunitas Eco Blogger Squad (part of  Blogger Perempuan Network), Auriga Nusantara, dan Yayasan Alam Sehat Lestari.

No comments:

Holla! Thanks for reading my post. Silakan tinggalkan komentar atau pertanyaan terkait konten. Komen spam, annonymous, maupun berisi link hidup akan dihapus. Centang "Notify Me" agar kalian tahu kalau komennya sudah dibalas, yaa!

Bintang Mahayana (c) 2018. Powered by Blogger.