Tren Gaya Hidup "Frugal Living" Milenial dan Gen Z sebagai Upaya Mitigasi Perubahan Iklim | Bintang Mahayana

Monday, October 11, 2021
 Holla!
Apa kabar #MudaMudiBumi semua? Semoga selalu dalam keadaan sehat dan dalam lindungan-Nya, yaa! Di postingan kali ini, gue mau cerita tentang salah satu tren gaya hidup "Frugal Living" yang ramai diperbincangkan di kalangan muda-mudi masa kini. Yaitu di kalangan Generasi Milenial dan Generasi Z. Tetapi, sebenarnya apa, sih yang dimaksud dengan gaya hidup "Frugal Living" itu sendiri? Benarkah gaya hidup tersebut muncul akibat adanya kesadaran kaum muda-mudi akan pentingnya mitigasi perubahan iklim?  Yuk, lanjutkan membaca! :)



tren-gaya-hidup-frugal-living-milenial-dan-gen Z-bintangmahayana-com
Sumber Gambar: Canva Free Image; Infografis: Bintang Mahayana




Apa Itu "Frugal Living"?

Sebelumnya ada istilah "Minimalism" yang lebih populer tentang gaya hidup untuk hidup dengan sedikit barang. Namun, apa yang dimaksud dengan "Frugal Living" dan apa bedanya dengan "Minimalism"? Minimalism merupakan prinsip gaya hidup, sedangkan frugal living merupakan gaya hidup hemat yang dipilih sebagai wujud reaksi terhadap suatu kondisi dan situasi. Dilansir dari situs wealthsimple.com, frugal living artinya adalah memiliki kesadaran utuh akan pengeluaran kita dan fokus hanya pada beberapa prioritas finansial saja.


pengertian-gaya-hidup-frugal-living-bintangmahayana-com
Sumber Gambar: Canva Free Image; Infografis: Bintang Mahayana





Mengapa Gaya Hidup "Frugal Living"?

Telah disebutkan pada poin di atas bahwa frugal living merupakan gaya hidup yang dipilih sebagai wujud reaksi dari suatu kondisi dan situasi. Ada beberapa faktor kondisi dan situasi yang menyebabkan prioritas finansial Generasi Milenial dan Z berubah. Sehingga, memengaruhi gaya hidup dan kebiasaan pengeluarannya, sebagai berikut.


Summary-faktor-pendorong-gaya-hidup-frugal-living-bintangmahayana-com
Faktor pendorong pilihan gaya hidup "Frugal Living" Milenial dan Gen Z
Sumber Infografis: Dokumen Pribadi/ Bintang Mahayana



1. Adanya Tuntutan Kondisi "Sandwich Generation"

Menjadi dewasa muda yang mandiri namun memiliki tanggunan finansial selain dirinya sendiri bahkan sebelum menikah adalah kondisi yang lazim kita jumpai di kalangan Generasi Milenial dan Z masa kini. Gue sendiri termasuk Generasi Z yang berpeluang menjadi salah satunya. Meskipun orang tua saat ini masih bekerja, sebagai anak pertama dalam keluarga, ada pandangan menjadi "sandwich generation" secara sukarela dalam bagian perjalanan hidup. 


Di satu sisi, sebagai individu, tentu gue punya mimpi, dong?  Tetapi, di satu sisi juga harus menjadi tempat bernaung bagi kedua adik yang masih sekolah. Kalau dulu, sewaktu awal kerja, setiap punya keinginan rasanya langsung ingin diwujudkan. Tetapi, sekarang ada keluarga prioritas finansial. Jadi, harus bisa membedakan mana keinginan dan kebutuhan. Harus lebih sadar akan pengeluaran pribadi. Kalau tidak terlalu butuh, mending tidak punya saja, deh! Daripada ujung-ujungnya hanya jadi sampah karena tidak terpakai, bukan?

 

Baca Juga: 5 Cara Mudah Mengelola Sampah Bekas Kemasan Produk Kecantikan




2. Meningkatnya Akses Informasi Keuangan di Media Sosial

Sebagai seorang dewasa muda yang sudah berpenghasilan, memperkaya literasi finansial sudah sepatutnya gue lakukan. Dengan semakin mudahnya akses informasi, gue jadi semakin kenal akan berbagai produk investasi dan yang tak kalah penting ilmu manajemen arus kas yang efektif. Dampak positifnya, gue jadi semakin sadar bahwa ada goals atau tujuan hidup yang lebih besar daripada hidup untuk hari ini saja. Harus menyiapkan dana pensiun, dana darurat (sebanyak 12 kali pengeluaran bulanan), dana pendidikan, dan lain-lain.


Apakah artinya harus mengeliminasi dana hiburan (leisure expense) untuk hobi? Tentu tidak. Namun, presentasenya harus diatur tidak melebihi 20% dari total pendapatan bulanan (Ghozie:2020). Menganut gaya hidup frugal living bukan berarti kita tidak boleh membahagiakan diri sendiri. Namun, sekali lagi lebih sadar akan keputusan finansial yang kita ambil. Contoh, kita bulan ini sudah membeli baju, makan di restoran, dan menonton film dengan total pengeluaran 20% pendapatan bulanan kita. Artinya, kita sudah menghabiskan dana maksimum alokasi pengeluaran untuk hiburan kirta. Pengetahuan ini yang membuat gue semakin sadar bahwa akan semakin sedikit barang terbuang sia-sia kalau kita disiplin terhadap keputusan finansial yang kita anut.





3. Meningkatnya Kesadaran tentang Krisis Iklim

Masalah krisis iklim bukan isapan jempol belaka. Kini, kita seolah dihadapkan pada kondisi di mana tidak ada jalan keluar selain menyerukan masalah krisis iklim ini agar semakin banyak orang yang tahu dan sadar. Pasalnya, masalah krisis iklim adalah masalah global yang butuh upaya kolektif untuk menanganinya. Saatnya #TimeforActionIndonesia, kita semua harus bergerak beriringan. Apalagi beberapa tahun terakhir, sering terjadi cuaca ekstrem yang menyebabkan bencana alam di berbagai wilayah di Indonesia. Tak heran, berdasarkan pantauan via Google Trends, rata-rata pencarian topik seputar "Climate Change" atau perubahan iklim, kerap kali menyasar wilayah Indonesia Timur seperti pada gambar di bawah ini. 


climate-change-interest-region-over-time-Indonesia-past-5-years-bintangmahayana-com

Sebaran hasil pencarian Google tentang topik perubahan iklim di Indonesia dalam kurun 5 tahun terakhir
Sumber Infografis: Googgle Trends, 2021


Salah satunya adalah dengan memilih gaya hidup frugal living. Dengan semakin sadar akan setiap keputusan finansial yang diambil, maka akan semakin sedikit keputusan membeli suatu barang yang sia-sia. Orang yang menganut frugal living, tentu sadar bahwa kegiatan konsumsi sekecil apapun dapat menambah jejak karbon individu di muka bumi. Semakin besar jejak karbon seseorang, semakin besar pula emisi gas rumah kaca yang dihasilkannya. Tentunya, hal tersebut membawa kita pada konsekuensi yang lebih besar sebagai penghuni bumi untuk dapat bertanggung jawab atas setiap jejak karbon yang dihasilkan. Untuk itulah kita harus semnakin sadar bahwa keputusan konsumsi kita juga berpengaruh terhadap bumi. Apakah produk yang kita konsumsi baik bagi bumi?


Baca Juga:  Yakin Skincare-mu Eco-Friendly? Ini Daftar Nama Brand Skincare Lokal dan Non-Lokal yang "Eco-Friendly"



Terbayang, kan bagaimana emisi gas rumah kaca telah menyebabkan menipisnya lapisan ozon? Mungkin, awalnya kita berpikir bahwa kita hanya fragmen kecil dari bagian semesta. Namun, ada berapa milyar manusia lagi di luar sana yang berpikiran sama? Fragmen-fragmen kecil yang terus menghasilkan emisi secara kolektif dan berkepanjangan. Hingga pada akhirnya, kita baru sadar bahwa kita tidak bisa lari dari krisis iklim.






4 Cara Simpel Memulai Gaya Hidup "Frugal Living" dalam Upaya Mitigasi Perubahan Iklim

Tak satupun manusia bisa lari dari krisis iklim. Ia datang begitu cepat hingga perubahan yang terjadi seolah hal yang biasa. Namun, ia juga datang begitu lambat hingga tak seorang pun dapat benar-benar memprediksi bencana apa lagi yang mungkin terjadi di masa depan. Gue, kalian, kita semua, hanya fragmen kecil dalam semesta yang hanya dapat berusaha semaksimal mungkin.


Percayalah, perubahan sekecil apapun tetaplah perubahan. Bahkan, kegiatan maupun hobi kita sehari-hari pun bisa berkontribusi terhadap mitigasi perubahan iklim. Baik itu fesyun, perawatan dan kecantikan, membaca, dan lain sebagainya. Berikut beberapa kebiasaan dalam gaya hidup frugal living yang gue sudah praktekan dalam kehidupan sehari-hari. Semoga teman-teman bisa terinspirasi dan tertarik untuk mencoba juga, yaa!



1. Beralih ke Slow Fashion


beralih-ke-slow-fashion-demi-iklim-bintangmahayana-com
Salah satu diplay pameran di Uniqlo terkait limbah plastik dan tekstil
Sumber Gambar: Dokumen Pribadi/ Bintang Mahayana, 2021


Kalau kalian hobi fesyun, pasti sudah tidak asing dengan istilah satu ini. Tetapi, apa sebenarnya slow fashion? Pengertiannya bisa banyak, tergantung metode yang kita pilih. Bisa dengan mengurangi frekuensi pembelian produk fesyun, beralih ke pembelian barang bekas atau second-hand (thrift shopping), atau juga mengurangi atau tidak sama sekali membeli produk pakaian dari brand-brand fast-fashion yang memproduksi pakaian dengan kuantitas yang sangat besar dan cenderung memproduksi limbah tekstil dalam jumlah besar pula setiap tahunnya.


Hal ini gue sadari ketika membuka lemari pakaian yang sudah hampir tidak muat lagi menampung pakaian-pakaian baru. Sedih sekali, rasanya. Bahkan, ada beberapa baju yang sudah tidak ingat kapan terakhir pakai atau bahkan tidak ingat kalau pernah membelinya. Coba deh, setiap kita kepikiran untuk membeli pakaian baru, kita audit lagi lemari kita! Jangan-jangan, ada yang bisa remake menjadi pakaian baru? Jangan-jangan juga, ada pakaian-pakaian lama yang justru bisa kita mix and match seru? Kegiatan yang kedua favorit gue banget! Bahkan, kadang yang gue audit bukan lemari pribadi saja. Tetapi juga lemari pakaian Mama. Beberapa baju kasual Mama yang tidak terpakai lagi biasanya bisa mix and match dengan pakaian gue sendiri. Yakin, deh! Rasanya bakal lebih puas ketimbang beli pakaian baru yang puasnya hanya saat unboxing paket, pakai 1-2 bulan, kemudian dilupakan.




2. Menghabiskan Barang Konsumsi Tanpa Sisa


food-waste-Indonesia-tertinggi-ke-2-di-dunia-bintangmahayana-com
Fakta terkait "Food Waste" atau Limbah Makanan di Indonesia
Sumber Gambar: Canva Free Image; Infografis: Bintang Mahayana, 2021


Kalian hobi makan? Sama. Gue juga hobi makan. Apalagi kalau ada promo "All You Can Eat" alias makan sepuasnya. Tetapi, kadang suka merasa bersalah juga kalau sudah makan berlebihan. Sampai begah saking terlalu banyak yang dimakan. Padahal, membuang makanan sia-sia itu tidak baik. Masih banyak saudara-saudara kita di luar sana yang kesulitan mendapatkan makanan yang layak. Untuk itulah, gue mulai menerapkan prinsip frugal living. Salah satu prinsip gaya hidup  frugal living adalah menghabiskan barang konsumsi tanpa sisa. Misalnya, kita membeli makanan. Usahakan untuk membeli makanan yang dapat dihabiskan seluruh bagiannya tanpa bersisa untuk meminimalisasi limbah makanan (food waste). Tahu, nggak kalau ternyata Indonesia menempati posisi ke-2 setelah Arab Saudi sebagai negara dengan penyumbang  food waste terbesar di dunia


Setiap tahunnya, 1 orang masyarakat Indonesia membuang sampah makanan sebesar 300kg. Andaikan seperempat piring makanan yang terbuang bisa diselamatkan, maka akan cukup untuk mengatasi kelaparan di seluruh dunia (Food Sustainability Index).  Padahal, sampah organik perlu segera diolah sebelum sampai di Tempat Pembuangan Akhir (landfill) agar tidak menyebabkan peningkatan emisi gas metana. Termasuk juga peningkatan efek gas rumah kaca atau Greenhouse Gases Effect. Menurut The Economist, keberadaan gas metana (NH4) di TPA 21 kali lebih merusak lingkungan dibandingkan karbondioksida (CO2).



Baca Juga: [LIFESTYLE] 5 Tips "Mindful Eating" ala Orang Jepang yang Menyehatkan dan Memperpanjang Usia Harapan Hidup





3. Memperbaiki atau Mengalihfungsikan Barang Rusak Selagi Bisa Sebelum Membeli yang Baru


menjahit-baju-rusak-sebelum-membeli-baru-bintangmahayana-com
Ilustrasi seorang wanita sedang menjahit baju
Sumber Gambar: Canva Free Image


Pernah punya barang yang rusak kemudian berpikir untuk langsung membeli yang baru? Sama, kok. Dulu juga berpikir begutu. Secara jangka pendek, langsung membeli barang baru untuk mengganti barang yang rusak memang convenient. Kita bisa mendapatkan pengalaman baru menggunakan barang yang masih dalam kondisi prima. Namun, pernah terpikir tidak, berapa banyak uang serta limbah rumah tangga yang bisa dihemat, kalau kita mau meluangkan sedikit waktu untuk memperbaiki atau setidaknya mengalihfungsikan barang itu? Berusaha menjaga usia barang selama mungkin untuk menghindari pembelian baru, juga merupakan salah satu prinsip penganut gaya hidup frugal living, loh!


Contohnya adalah ketika pakaian kita sobek. Terkadang, ada baju sobek satu saja langsung panik karena merasa stok koleksi bajunya berkurang. Apalagi baju-baju berwarna netral yang lumayan sering dipakai sehari-hari. Biasanya, kalau sobek kecil, bisa gue jahit. Kalau tidak sempat jahit, bisa menggunakan layering style alias baju tumpuk-tumpuk. Misalnya, ada blus yang sedikit bolong di bagian pundak, bisa ditambahkan blazer atau kardigan misalnya. Toh, bolongnya tidak akan terlihat juga, bukan? Kalau memang bolongnya cukup besar, bisa dialihfungsikan sebagai baju tidur atau kalau benar-benar sudah tidak layak, bisa dijadikan kain pel atau keset. Namun, saat ini ada banyak produsen fesyun yang menerima donasi baju bekas baik layak pakai maupun tidak untuk didonasikan dan didaur ulang. Contohnya: Uniqlo dan Sejauh Mata Memandang.


dropbox-baju-bekas-reuse-recycle-uniqlo-bintangmahayana-com
Dropbox Baju Reuse dan Recycle di store Uniqlo salah satu mall di Indonesia
Sumber Gambar: Dokumen Pribadi/ Bintang Mahayana, 2021




4. Mendonasikan Barang-Barang Tidak Terpakai


baju-bekas-layak-pakai-donasi-bintangmahayana-com
Ilustrasi baju bekas layak pakai untuk didonasikan
Sumber Gambar: Canva Free Image; Infografis: Bintang Mahayana


Donasi, donasi, donasi! Serius, berbagi itu tidak akan pernah rugi. Malah membuat kita lebih kaya karena kita mampu membesarkan hati orang lain. Seseorang yang menganut prinsip gaya hidup frugal living itu bukan berarti orang pelit, loh! Malah justru mendorong kita untuk berbagi. Kalau kita benar-benar sudah bosan dengan barang-barang lama kita, setidaknya donasi dapat membuka ruang baru bagi barang-barang baru itu nanti. Soalnya, kita jadi punya ruang kosong lagi di lemari, bukan? Barang yang kita anggap lama, akan selalu baru bagi mereka yang menerimanya. Gue biasa mendonasikan barang seperti: buku, skincare, make-updan hijab yang tidak terpakai. Tinggal post di Instagram, tanya ada yang mau atau nggak, dan upload di ecommerce supaya memudahkan penerimanya.


Selain karena profesi, gue pribadi juga memang hobi dengan dunia beauty. Tetapi, baru sadar beberapa bulan lalu, kalau skincare dan make up hadiah dari brand banyak yang tidak terpakai.Kadang, dijadikan sebagai hadiah ulang tahun untuk teman dekat atau donasi terbuka via Instagram. Selain itu juga, gue sempat mengumpulkan lebih dari 2kg hijab segi empat tidak terpakai untuk para nakes yang gue kirimkan lewat teman nakes untuk didistribusikan di rumah sakit tempat dia bekerja. Sempat ngobrol santai dengan teman nakes, katanya setiap hari harus diusahakan ganti hijab saat ganti APD untuk menjaga protokol kesehatan nakes yang sangat ketat. Model hijab segi empat kini lebih sering gue tinggalkan karena sudah beralih selera ke hijab pashmina ceruti. Jadi, daripada numpuk di lemari dan jadi limbah tekstil, lebih baik didonasikan saja, bukan?





Tekad di Hari Sumpah Pemuda Versi Gue

Setiap tanggal 28 Oktober, diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda. Tahun ini, gue memaknai peringatan Hari Sumpah Pemuda dengan cara yang sedikit berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Kalau dulu, peringatan ini tak lebih dari mengenang sejarah bangsa Indonesia, sekarang justru kesempatan untuk #TimeforActionIndonesia sebagai bagian dari #MudaMudiBumi bergerak melakukan mitigasi perubahan dalam versi pribadi. 



"Di Hari Sumpah Pemuda ini #UntukmuBumiku, gue bersumpah bahwa hanya akan membeli buku, pakaian, maupun produk kecantikan setelah menghabiskan atau mendonasikan yang lama sejumlah yang dibeli."


- Bintang Mahayana, 2021




***


(Tulisan ini diikutsertakan dalam Kompetisi Blog #MudaMudiBumi Saatnya Anak Muda Bergerak untuk Mitigasi Perubahan Iklim yang diselenggarakan oleh Blogger Perempuan Network pada periode 1-31 Oktober 2021.)




REFERENSI

Department of Economic and Social Affairs Sustainable Development (United Nations). Goal 12 "Responsible Consumption and Production." Dalam https://sdgs.un.org/goal12/goals.  Diakses pada 10 Oktober 2021.


Food Sustainability Index Developed by The Economist and Intelligence Unit. Food Loss and Waste. Dalam https://foodsustainability.eiu.com/food-loss-and-waste/Diakses pada 10 Oktober 2021.


Ghozie, Prita. 2020. Make It Happen: Buku Pintar Rencana Keuangan Untuk Wujudkan Mimpi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Kumok, Zina. 2020. Frugality: The Explanation & Top Frugal Living Tips. Dalam Wealth Simple. Diakses pada 9 Oktober 2021









2 comments:

  1. Semoga makin banyak anak muda yang menganut frugal living ini untuk melawan gempuran budaya konsumerisme saat ini

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo Kak Dewi! Terima kasih sudah mampir yaa. Setuju! Trend impulsive buying krn semakin majunya FinTech membuat pembayaran semakin mudah. Jadi, budaya konsumerisme pun meningkat. Kalo bukan kita yg punya self-control bisa2 kita yg hilang kendali sama apa yg kita konsumsi. Semoga yaa gen muda semakin mindful kedepannya :)

      Delete

Holla! Thanks for reading my post. Silakan tinggalkan komentar atau pertanyaan terkait konten. Komen spam, annonymous, maupun berisi link hidup akan dihapus. Centang "Notify Me" agar kalian tahu kalau komennya sudah dibalas, yaa!

Bintang Mahayana (c) 2018. Powered by Blogger.