Retail Teraphy - Belanja karena Emosi, Pernah Ngalamin?

Thursday, October 29, 2020

 Holla!

Di postingan kali ini mungkin agak sedikit curcol. Tapi mudah-mudahan tetap bermakna yaa, postingannya haha. Jadi, kali ini mau cerita soal "Retail Teraphy" yaitu shopping yang tujuan utamanya adalah meningkatkan mood atau mendisposisi keadaan mood si pembelinya saat ini. Artikel ini terinspirasi oleh postingannya Kak Prita Ghozie panutan sejuta umat. Terutama untuk gen Y-Z yang ingin melek finansial. Tetapi, di sini bukan ranah gue untuk berbagi tips finansial yang kelewat teknis maupun teoritis, yaa.


Source: thehollywoodhotel.com



Apa itu Retail Teraphy?

Beberapa waktu lalu ada postingan di Instagram nya Kak Prita Ghozie (@pritaghozie) yang judul kontennya "Supaya Gajian Mindful, mulai darimana?" Nah, di poin ke-4 ada disebutkan "berhenti mengaitkan emosi dengan konsumsi." Jujur, gue merasa tertampar banget, sih. Terutama 2 bulan belakangan ini gue merasa beberapa pengeluaran gue sifatnya kayak "emotional expense". I felt major guilty feeling inside. Padahal baru baca judulnya aja. Nah, di situ ilustrasi Kak Prita itu kurang lebih menjelaskan kondisi di mana kita tuh "nggak sadar" kalau belanja banyak. Tau-tau tiap hari ada aja Kang Paket nongol di depan rumah. Gue sempat mengalami hari di mana, capek banget bolak-balik ambil paket. Pas belanja sih, seneng. Pas udah sampai, "kok biasa aja, yaa?" Malah suka gue anggurin dulu (bukan cuma karena protokol covid).


Jujur, begitu liat mutasi rekening hancur banget rasanya. Ya, nggak sampe kagak punya duit juga, sih. Tetapi miris aja betapa gue nyaris nggak membutuhkan apa yang gue beli. Misalnya, selama WFH gue kan emang jarang ya ada demand untuk fully video call. Di Zoom aja gue sering off camera. Lah, tau-tau jempol udah berasa maen Ouija aja gerak sendiri checkout mascara via Shopee. Hanya karena bundle "super hemat" sama pensil alis. Padahal, si pensil alisnya entah kapan gue mau pake. Selama ini, pensil alis adalah satu-satunya make up yang ga masuk dalam essential product karena alhamdulillah ya sudah diberkahi dengan alis yang tebal, hitam, dan berbentuk sejak lahir. Kalau kalian pernah mengalami apa yang gue alami, kurang lebih, mungkin kalian juga melakukan aksi yang dinamakan "Retail Teraphy."



Mengapa bisa terjadi femonena Retail Theraphy?

Menurut Kak Prita, situasi ini biasa terjadi jika seseorang sedang mengalami kondisi yang kurang nyaman. Misalkan, barupatah hati, kesal dengan atasan di kantor, stress dengan kerjaan, dan berbagai stimulan penyebab stress lainnya. Sejujurnya, gue pernah baca quote juga di Twitter. Tetapi maaf gue nggak bisa taruh citation-nya di sini karena sudah lama banget. Tetapi, kurang lebih kalimatnya begini:

Someone who is unhappy tend to spend more money than they had to. 

Ya, sebenarnya memang nggak selalu se-literal itu, yaa. Tetapi karena kata-katanya "tend" yang artinya cenderung. Maka, di beberapa kasus ada kecenderungan kalimat itu benar adanya. Mungkin, istilah yang paling populer digunakan saat ini adalah "distraksi". Nah, sebenarnya Retail Teraphy ini sendiri salah satu bentuk usaha kita untuk membangun sebuah distraksi. Pada saat kondisi kita kurang menyenangkan, hormon dopamine dan oksitosin kita cenderung menurun. Sehingga, salah satu yang umum dilakukan oleh orang-orang adalah dengan mencari distraksi yang mampu memberikan kesenangan sesaat. Termasuk, dengan cara berbelanja. 


Terdapat fakta yang lebih mencengangkan lagi sebenarnya. Dilansir dari The Daily Telegraph, 3 dari 4 wanita muda memikirkan tentang berbelanja hampir sama dengan seringnya dengan pria berfikir tentang sex.  

They think about buying new clothes or shoes every 60 seconds, according to a survey by cosmopolitan.co.uk.

Other studies have claimed that men think about sex every 52 seconds.

Dikarenakan hal tersebut dianggap lebih mampu mengurangi kesedihan. Menurut para profesor di University of Michigan, Amerika Serikat, berbelanja dapat mengembalikan kontrol atas situasi seseorang yang mana berpengaruh terhadap suasana hati. Maksud gue membawa analogi ini, ingin menunjukkan fakta bahwa retail therapy terutama bagi kaum wanita segini dahsyat efeknya bagi aspek psikologis.



Apakah Retail Teraphy perlu Dihindari?

Jawabannya kembali lagi ke financial condition teman-teman masing-masing. Gue sendiri memang ada alokasi bujet untuk retail teraphy (bukan dana darurat yaa). Karena memang dalam situasi tertentu, spending on my hobby keeps me sane for a while. Tetapi, kalau kadarnya sudah melewati batas ambang, saatnya gue audit. Berarti, jangan-jangan masalah yang sebenarnya belum teratasi. Sehingga, retail teraphy nggak bisa membantu. Tentunya gue harus segera mengatasi akar permasalahannya supaya tuntas. Bahkan, kalau perlu juga cari bantuan profesional seperti psikolog untuk membantu kita berpikir secara objektif terhadap masalah yang sedang kita hadapi. Biar bagaimanapun, nggak bisa dipungkiri kalau suasana hati sedang tidak kondusif, kita akan cenderung berfikir secara lebih subjektif, bukan?


Jujur, kadang gue merasa bahwa financial plan tanpa alokasi untuk hobi bisa bikin stress juga. Karena, ya pada akhirnya buat apa, sih, kita mengumpulkan uang kalau kita hanya untuk dibuat menderita? Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian kan nggak terus kita harus menderita juga hanya untuk senang di kemudian hari? Untuk itulah perlu adanya planning dan commitment. Ketahuilah, e-commerce dan m-banking itu mempermudah tetapi juga menjerumuskan kalau kita terus mengikuti emosi dan tidak setia pada perencanaan keuangan yang kita buat. Pada akhirnya kita cuma bisa gigit jari sama mutasi rekening atau tagihan credit card, buat apa?


Jadi, yuk sama-sama kita audit lagi apakah konsumsi kita akhir-akhir ini termasuk retail teraphy semata atau memang kebutuhan? Jika ternyata sebagian besar adalah retail teraphy, maka alangkah baiknya kalau kita mendeteksi permasalahan yang sebenarnya daripada jadi bom waktu yang akan merugikan diri kita sendiri nantinya. Stay safe and sane!



Reference

Shopping beats Sex for Women. 2008. The Daily Telegraph. https://www.dailytelegraph.com.au/shopping-beats-sex-for-women/news-story/08765961654afcccf530033e7b42938d

***


Thanks for reading and dropping by!

Readers advisory is highly recommended. Please do not cite my writing without my authorization. I am not an expert, so please be wise enough to enrich yourself with 2nd, 3rd, and so on opinions.

2 comments:

  1. Agak deg-degan kalau belanja di waktu kita sedih, jadi belanja emosional ya haha
    chart-shoping jadi malah kebeli semua, apalagi dengan banyaknya sale-sale.. duh godaan 😂 Terima kasih sudah sharing mbak Bintang

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hi, Kak Aqmarina! Haha kayaknya ada yang habis kalap di 11.11 kemarin? hihi Betul kaaak. mood itu pengaruh banget sama habit belanja yaa. Kalau nggak bisa mengendalikan diri ujungujungnya pasti nyesel sendiri :( Sama-sama yaa, Kak semoga bermanfaat. Terima kasih sudah mampir yaa :)

      Delete

Holla! Thanks for reading my post. Silakan tinggalkan komentar atau pertanyaan terkait konten. Komen spam, annonymous, maupun berisi link hidup akan dihapus. Centang "Notify Me" agar kalian tahu kalau komennya sudah dibalas, yaa!

Bintang Mahayana (c) 2018. Powered by Blogger.