3 Isu Pemanfaatan Keanekaragaman Tanaman Pada Produk Skincare di Indonesia

Thursday, April 21, 2022
Hola!
Akhirnya di postingan kali ini bisa kembali membahas tentang keanekaragaman hayati khususnya tanaman-tanaman bernilai guna yang merupakan salah satu aset kekayaan alam bumi pertiwi yang tidak boleh kita abaikan. Kali ini gue akan bahas tentang berbagai isu yang terjadi terkait pemanfaatan keanekaragaman tanaman dalam formulasi produk skincare di Indonesia pada kesempatan kali ini. Yuk, kita diskusi sambil terus tingkatkan kesadaran kita akan pentingnya melestarikan berbagai keanekaragaman hayati Indonesia sebagai warisan jenggala bagi anak cucu kita kelak :)




Belakangan gue mulai makin concern sama "natural ingredients' dalam skincare yang memanfaatkan berbagai jenis tanaman. Kerap kali brand menyebutnya dengan kandungan dari bahan-bahan alami yang baik untuk kulit. Tetapi, dari manakah asalnya? Benarkah, bahan-bahan alami tersebut diambil dari kekayaan alam Indonesia? Sebut saja Daun Pegagan. Maaf, maksud gue itu, loh si Centella asiatica. 

Jujur, deh teman-teman pasti lebih familiar dengan nama yang ke-2 bukan? Padahal keduanya merupakan jenis tanaman yang sama. Centella asiatica merupakan nama ilmiah dalam sistem binomial nomenklatur bagi tanaman Daun Pegagan yang sejujurnya banyak sekali kita jumpai di lingkungan sekitar kita. Lalu, kok bisa, sih Bintang si Centella asiatica lebih menang pamor dibandingkan dengan nama dalam Bahasa Indonesia-nya? Sudah mulai penasaran sampai di sini? Tetap lanjutkan membaca, yaa! Soalnya, penjelasannya akan makin seru sehabis ini! :)



1. Tanaman Impor Lebih Digaungkan Ketimbang Kekayaan Alam Negeri Sendiri

Beberapa kali ditemukan pada kemasan produk skincare, nama ingredient yang ditulis adalah Centella asiatica. Hal ini sebetulnya tidak salah mengingat penamaan ilmiah seperti ini berlaku secara universal. Namun, pernah juga ditemukan dari salah satu brand lokal yang menyebutnya sebagai "Jeju Centella asiatica".


Mungkin teman-teman sudah tahu, yaa kalau Pulau Jeju atau Jeju-do adalah nama salah satu pulau di Korea Selatan yang sangat terkenal akan keindahannya. Memang tren Korean Beauty kian marak dan memenuhi setiap sudut marketing campaign di kancah industri kecantikan dunia. Dulu, Centella asiatica ini menggemparkan dunia skincare dengan Madagascar Centella asiatica yang salah satunya diviralkan oleh K-Beauty brand, SKIN1004 (Skin one-o-o-four/ Skin Chonsa).


Lalu, mengapa brand lokal Indonesia pun terkesan "latah" dengan menghadirkan unsur-unsur bernuansa Korea demi menggaet pelanggan? Haruskah ingredient yang secara ekonomi produksi sebetulnya tidak terlalu mahal ini, sampai harus diimpor dari Korea Selatan?




Banyak diskusi yang terjadi dalam komunitas beauty di Indonesia bahwa salah satu alasan Daun Pegagan ini tidak populer bahkan cenderung diabaikan adalah karena kualitasnya yang dianggap lebih rendah dibanding Centella asiatica dari negara lain. Benarkah demikian?


Di Indonesia, tanaman Daun Pegagan dikenal sebagai tanaman liar yang banyak tmbuh di lingkungan sekitar kita. Termasuk di pinggir jalan bahkan di tepi saluran drainase. Sehingga, kesan bahwa tanaman ini merupakan tanaman liar yang dipenuhi polusi pun kian mengakar di dalam pikiran masyarakat Indonesia yang mengenalnya. Padahal tanaman satu ini sangat kaya akan antioksidan yang baik bagi kulit. Namun, kondisi polusi udara di Indonesia lah yang membuat skeptis berbagai pihak bahwa tanaman ini mampu dimanfaatkan sebagai bagian dari keanekaragaman hayati bernilai ekonomi pada bidang industri kecantikan.


Lain halnya dengan Centella asiatica, baik spesies Madagascar Centella asiatica maupun Jeju Centella asiatica yang terkesan bebas polusi sehingga lebih pristine atau tak terjamah tangan manusia. Sehingga dipercaya memiliki khasiat antioksidan yang lebih tinggi. Padahal, akar permasalahannya adalah metode budidaya tanaman inilah yang sejauh ini belum banyak dilakukan dalam skala besar. Jika masalah ini tidak segera menjadi urgensi, terutama bagi para pelaku pelestarian keanekaragaman hayati bersama-sama dengan pelaku industri kecantikan, bukan tidak mungkin suatu saat nanti Indonesia bisa saja kehilangan tanaman Daun Pegagan.


Lebih parahnya lagi, mungkin saja di masa depan kita akan semakin tergantung dengan tanaman-tanaman impor sebagai bahan baku produk kecantikan alih-alih memanfaatkan keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia. Jadi, jangan heran kalau suatu saat tingkat inflasi harga produk kecantikan akan semakin meninggi. 




2. Formulasi Lebih Mengandalkan Trend-Following daripada Trend-Setting

Jadi kepingin curhat deh! Siapa tahu teman-teman bisa relate juga. Jujur, gue mulai bosan kalau akhir-akhir ini melihat produk-produk skincare baru dengan klaim segunung, tetapi isinya ya hanya 'itu-itu" lagi. Selain Centella asiatica, pelaku industri skincare di Indonesia kini banyak sekali yang berlomba-lomba memasukkan Niacinamide ke dalam produknya dengan klaim bisa mencerahkan dalam 2 minggu lah, bisa mengatasi jerawat lah, dan masih banyak lagi. Padahal, teman-teman tahu nggak kalau nggak semua jenis kulit bisa menoleransi Niacinamide yang banyak dielu-elukan sebagai kandungan skincare yang "serbabisa".


Padahal Indonesia juga punya jenis tanaman rempah yang bahkan dulu saat zaman Cornelis de Houtman beserta pasukan Belanda berlabuh di Banten diperdagangkan. de Houtman sampai rela membelah samudera hanya untuk mencari rempah-rempah Indonesia yang dikenal berkualitas tinggi. Salah satunya adalah kunyit atau dalam bahasa ilmiahnya dikenal dengan nama Curcuma longa dan dalam Bahasa Inggris dikenal dengan nama Turmeric.


Kunyit selama ini lebih dikenal sebagai bumbu dapur. Padahal, tanaman satu ini juga berkhasiat bagi kesehatan kulit. Ternasuk mencerahkan kulit dan mengatasai jerawat. Tidak hanya itu, kunyit juga bisa membantu melawan bakteri penyebab jerawat agar kulit tidak mudah inflamasi. Ini baru jenis tanaman yang sudah kita kenal. Kebayang tidak, bagaimana khasiat tanaman-tanaman lain yang belum kita kenal atau bahkan belum teridentifikasi?




Indonesia dikaruniai dengan lebih dari 30.000 keanekaragaman hayati tersebar di seluruh Nusantara. Beberapa di antaranya masuk dalam kategori TOGA (Tanaman Obat Keluarga) yang tidak hanya untuk mengobati penyakit tetapi juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku produk kecantikan. Kalian tahu, nggak ada berapa jumlah spesies TOGA di Indonesia yang sejauh ini sudah teridentifikasi? Ternyata jumlahnya tidak kurang dari 9.600 spesies! WOW! Tidak heran kalau Indonesia dinobatkan sebagai negara dengan peringkat ke-2 sebagai pemiliki keanekaragaman hayati terbesar setelah Brazil.


Sayangnya, dalam pemanfaatannya masih tergolong sangat minim, khususnya dalam dunia kecantkan. Formulasi produk masih lebih banyak mengacu pada apa yang sedang banyak diminati publik saat ini. Bukan terhadap kemungkinan inovasi-inovasi yang tak hanya menguntungkan bagi manusia. Namun, juga turut berkontribusi dalam menjaga keseimbangan eksosistem serta kelestarian kenanekaragaman hayati di Indonesia.




3. Greenwashing Marketing dengan Menunggangi Isu Krisis Iklim Demi Label

Isu krisis iklim kian gencar digaungkan bahkan di-mainstream-kan. Tujuannya tak lain agar lebih banyak elemen yang terlibat dalam meminimalisasi dampak perubahan iklim karena sejatinya masalah iklim sudah sepantasnya menjadi urgensi kita bersama. Namun, sayangnya di beberapa kasus, masalah iklim dan peningkatan kesadaran masyarakat akan isu tersebut justru ditunggangi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Semata hanya untuk menambah keuntungan bagi mereka sendiri. Padahal, justru mereka lah yang menjadi salah satu penyebab masalah iklim yang harus turut bertanggung jawab atas dampak yang terjadi.


Dalam kasus industri kecantikan, terdapat beberapa brand yang mengklaim produknya ramah lingkungan, kandungannya terbuat dari bahan-bahan alami, kemasannya dari botol daur ulang, dan masih banyak lagi klaim "Green Label" yang tidak asing kita dengar. Padahal, kenyataannya belum tentu sejalan dengan klaim yang mereka gaungkan. Kita ambil contoh soal bahan alami dalam kandungan skincare. Ternyata presentasenya tidak sampai 1% dari total keseluruhan komposisi bahan pembuat skincare yang sisanya terbuat dari bahan-bahan non alami.




Lebih parahnya lagi, beberapa justru tidak diproduksi di dalam negeri. Baik bahan baku mentah, setengah jadi, maupun jadi. Dampaknya, tentu saja rantai pasok dan rantai produksi produk justru menghasilkan emisi karbon yang lebih besar dari yang seharusnya. Fenomena ini dikenal dengan istilah Greenwashing Marketing. Tujuannya adalah mengajak konsumen untuk membeli produk mereka dan meyakinkan mereka jika membeli produk mereka maka konsumen telah turut serta menjadi bagian dari penduduk Bumi yang bertanggung jawab terhadap masalah iklim.


Jika dikaitkan dengan isu Centella asiatica vs Daun Pegagan di awal tadi, pemilihan bahan baku Madagascar Centella asiatica maupun Jeju Centella asiatica yang tak satupun berasal dari Indonesia, alih-alih memanfaatkan bahan alami yang ramah lingkungan malah justru menghasilkan emisi karbon yang lebih besar.


Bayangkan jika budidaya Daun Pegagan di Indonesia dimaksimalkan sehingga dapat diperoleh kualitas ekstrak yang kaya akan antioksidan. Dengan atmosfer ekonomi industri kecantikan yang kian meningkat setiap tahunnya sejak tahun 2017, bukan tidak mungkin industri kecantikan Indonesia pun bisa bersaing di dunia internasional secara masif. Serta keanekaragaman hayati Nusantara aman terjaga sebagai warisan jenggala yang tak lekang oleh waktu bagi anak-cucu kita kelak.


Peran gue di sini sebagai bagian dari #EcoBloggerSquad yang memiliki blog dengan Beauty Niche, turut mendukung riset keanekaragaman hayati industri kecantikan Indonesia serta Frugal Lifestyle dengan cara mendukung brand-brand yang secara nyata telah turut berpartisipasi dalam upaya mitigasi perubahan iklim dan menggunakan produk skincare sampai habis. Gue harap teman-teman juga bisa ikutan mendukung misi ini semata untuk masa depan Bumi kita bersama, yaa! :)

No comments:

Holla! Thanks for reading my post. Silakan tinggalkan komentar atau pertanyaan terkait konten. Komen spam, annonymous, maupun berisi link hidup akan dihapus. Centang "Notify Me" agar kalian tahu kalau komennya sudah dibalas, yaa!

Bintang Mahayana (c) 2018. Powered by Blogger.