Manfaat Kelapa Sawit sebagai Biofuel dan Korelasinya terhadap Deforestasi dan Penurunan Emisi GRK

Friday, November 19, 2021
Holla!
Di postingan kali ini gue mau berbagi informasi soal Biofuel dari hasil diskusi Eco Blogger Squad dengan Madani Berkelanjutan ID dan Traction Energy. Biofuel sebagai produk sampingan kelapa sawit ini ternyata punya banyak manfaat, loh. Kita juga akan ngomongin soal kelapa sawit yang punya banyak manfaat sekaligus mengundang beberapa diskusi terkait lingkungan. Buat apa bahas kelapa sawit? Kelapa sawit sendiri juga punya produk turunan di skincare yang biasa kita pakai sehari-hari seperti gliserin, dan beberapa jenis alkohol. Jadi, sebenarnya komoditas satu ini juga sangat dekat dengan kehidupan kita, bukan?


Biofuel-minyak-kelapa-sawit-bintangmahayana-com
Sumber Gambar: Dok. Pribadi/ Bintang Mahayana, 2021



Apa Itu Biofuel? 

Seinget gue dulu waktu SD, pernah ada pelajaran IPA yang membahas tentang Bahan Bakar Nabati (BBN) yang didapat dari hasil olahan minyak jelantah. Apa dari kalian juga pernah menemui bahasan tentang BBN saat sekolah dulu? Istilah BBN sendiri lebih umum dipakai di Indonesia saja. Namun, secara internasional, ternyata istilah yang lebih umumj digunakan adalah Biofuel. Tetapi, sebenarya Biofuel itu apa sih? Benarkah Biofuel baik bagi penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) tetapi tidak bagi deforestasi di Indonesia?


Biofuel atau dalam Bahasa Indonesia dikenal sebagai Bahan Bakar Nabati (BBN) merupakan zat yang berasal dari bahan-bahan organik atau dari minyak jelantah yang diolah untuk dijadikan bahan bakar.


pengertian-biofuel-bintangmahayana-com
Pengertian BBN
Sumber Gambar: Madani Berkelanjutan ID, 2021




Klasifikasi Biofuel

Ternyata Biofuel atau BBN ini ada klasifikasinya. Mulai dari jenis-jenis bahan baku primer yang digunakan sebagai bahan pembuat Biofuel, generasi pertama, generasi kedua, hingga generasi ketiga. Jadi, sebenarnya, Biofuel ini aslanya tidak hanya dari hasil olahan kelapa sawit yang kalau di Indonesia akrab kita sebut dengan istilah minyak jelantah.


Bahan Primer (Primary)
Termasuk kayu bakar, sisa kayu, pakan ternak, kotoran hewan, sisa hutan dan tanaman, gas metana tempat penampungan akhir (landfill gass). Jadi, sebenarnya untuk dapat menghasilkan Biofuel tidak hanya dapat bergantung pada satu jenis komoditi saja. Meskipun begitu, di Indonesia sendiri memang masih umum menggunakan hasil olahan kelapa sawit dari limbah minyak jelantah. Sebagian kecil lainnya berasa dari biogas yang merupakan limbah kotoran hewan ternak seperti sapi.


Generasi Pertama (First Generation)
- Bioetanol atau butanol yang difermentasi dari gandum, air tebu (sugarcane), jagung, kentang, beras jali (barley).

- Biodiesel dari transesterifikasi minyak dari tumbuhan biji-bijian seperti kedelai, hasil olahan kelapa, palem, hasil olahan minyak sayur bekas pakai (minyak jelantah), dan lemak hewan.


Generasi Kedua (Second Generation)
- Bioethanol dan biodiesel yang diproduksi dengan menggunakan teknologi konvensional. Namun berbahan dasar tanaman-tanaman penghasil tepung (novel starch), minyak, gula, seperti Jatropha, singkong, dan Mischantus.

- Bioethanol, biobutanol, syndiesel yang diproduksi dari bahan lignoslulosa seperti sedotan, kayu, dan rerumputan.


Generasi Ketiga (Third Generation)

- Terdiri dari Biodiesel yang berasal dari mikro alga, Bioethanol dari mikro alga dan rumput laut, serta Hidrogen dari mikro alga dan mikroba.


klasifikasi-BBN-bintangmahayana-com
Klasifikasi BBN
Sumber Gambar: Madani Berkelanjutan ID, 2021




Pemanfaatan Kelapa Sawit sebagai Biofuel 

Komoditas Kelapa Sawit atau Crude Palm Oil (CPO) meupakan salah satu bahan pembuat Biofuel yang paling banyak dimanfaatkan di Indonesia. Alasannya, konsumsi minyak goreng yang merupakan hasil turunan dari CPO masih tinggi permintaannya di Indonesia. Pada umumnya, masyarakat Indonesia kebanyakan menyenangi makanan yang diolah dengan cara digoreng. Sehingga, limbah minyak jelantah pun akan tetap diproduski sebagai salah satu limbah rumah tangga. Coba, deh teman-teman cek dapur sekarang, kira-kira berapa liter limbah minyak jelantah yang telah dihasilkan per hari ini saja?


Nah, sayangnya nih. Menurut data yang didapat dari Lembaga Riset Independen Traction Energy, jumlah pemanfaatamminyak jelantah sebagai Biofuel di Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan konsumsi minyak sayur dan jumlah produksi limbah minyak jelantah rumah tangga. Ternyata, data pada tahun 2019 menunjukkan bahwa dari total konsumsi minyak goreng di Indonesia mencapai 13 juta ton atau 16,2 juta kilo liter. Dengan 3,24 juta kilo liter di antaranya berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai biodiesel. Namun, pada kenyataannya hanya sebanyak 3 juta kilo liter saja yang mampu dikumpulkan di mana 1,6 juta kilo liter di antaranya berasal dari rumah tangga di perkotaan besar.

konsumsi-minyak-goreng-sawit-di-Indonesia-bintangmahayana-com
Konsumsi Minyak Goreng Sawit di Indonesia
Sumber Gambar: Traction Energy, 2021


pemanfaatan-minyak-jelantah-di-Indonesia
Pemanfaatan Minyak Jelantah di Indonesia
Sumber Gambar: Traction Energy, 2021





Kontribusi Biofuel terhadap Penekanan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK)

Menurut Kak Ricky Amukti dari Traction Energy, yang perlu disalahkan bukanlah komoditasnya, tetapi cara penanganan dan pemanfaatan komoditasnya. Apakah sudah beretika secara lingkungan? Yang jadi masalah di Indonesia, karena Crude Palm Oil (CPO) memiliki izin legal dari pihak pemerintah kerap kali dijadikan ajang pembukaan lahan baru dengan deforestasi melalui metode pembakaran hutan dengan sengaja. 


kebijakan-BBN-dan-pembukaan-lahan-kelapa-sawit
Kebijakan BBN dan Pembukaan Lahan Kelapa Sawit
Sumber Gambar: Madani Berkelanjutan ID, 2021


Padahal, seharusnya fokus hanya pada memaksimalkan lahan yang telah ditanami, berkolaborasi dengan petani swadaya untuk mengatrol pertumbuhan serta ketahanan ekonomi lokal sebagai bagian dari rantai pasok biofuel. Bukan justru dijadikan ajang untuk pembakaran hutan demi pembukaan lahan baru maupun perluasan lahan yang justru dapat berdampak buruk kedepannya. Tidak hanya bagi lingkungan terkait pemanasan global. Namun juga bagi kesehatan masyarakat, khususnya terkait masalah pernapasan karena rendahnya Air Quality Index (AQI) atau Indeks Kualitas Udara.

petani-swadaya-dalam-rantai-pasok-produksi-kelapa-sawit-bintangmahayana-com

Petani Swadaya dalam Rantai Pasok Produksi Kelapa Sawit
Sumber Gambar: Traction Energy, 2021


Mengapa perlu berkolaborasi dengan petani swadaya? Alasannya adalah karena emisi yang dihasilkan oleh produksi kelapa sawit petani swadaya tidak sebesar perusahaan skala besar. Serta, dengan menyertakan mereka pada rantai pasok juga membantu mendukung ketahanan ekonomi pada sektor komoditas lokal. Dengan melibatkan petani swadaya pada rantai pasok, tentunya juga akan memperpendek alur pasok dan produksi komoditas itu sendiri. Dalam hal ini kelapa sawit. Sehingga, harga komoditas pun akan relatif tidak menyebabkan permainan pasar akibat monopoli perdagangan. Petani swadaya mampu menjual hasil panennya dengan harga yang layak dan hidup sejahtera. Di sisi lain, kebutuhan masyarakat terpenuhi. 


Dengan manajemen produksi dan pengolahan limbah yang baik, CPO justru dapat berkontribusi dalam penurunan emisi GRK, bukan malah sebaliknya. Selama ini, yang dipermasalahkan justru pembukaan lahan secara besar-besaran lewat deforestasi dengan cara pembakaran hutan dengan sengaja. Apabila metode tersebut ditinggalkan, sebenarnya apa yang dipermasalahkan dari komoditas kelapa sawit itu sendiri? Apakah dengan memboikot kelapa sawit oleh sebagian kelompok kemudian menjadikan kebutuhan akan komoditas ini hilang begitu saja? Sedangkan kelapa sawit mampu masuk ke dalam berbagai sektor industri dan manfukatur. Mulai dari konsumsi minyak goreng sayur, kecantikan, hingga energi berupa Biofuel dari hasil olahan minyak jelantah, salah satunya.



- Bintang Mahayana, 2021




No comments:

Holla! Thanks for reading my post. Silakan tinggalkan komentar atau pertanyaan terkait konten. Komen spam, annonymous, maupun berisi link hidup akan dihapus. Centang "Notify Me" agar kalian tahu kalau komennya sudah dibalas, yaa!

Bintang Mahayana (c) 2018. Powered by Blogger.